Sejarah Kota Medan
1. Medan Tanah Deli
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
2. Kampung Medan dan Tembakau Deli
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
3. Legenda Kota Medan
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.
Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
4. Penjajahan Belanda di Tanah Deli
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
5. Kota Medan Masa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang
berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat disekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama “ Kempetai “ (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur “ oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico“ (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Disebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Dikawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.
6. Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia
Dimana-mana diseluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Beliau juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun diantaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
Sumber Informasi:
Buku Kota Medan Pintu Gerbang (Bappeda)
Buku Monografi Kota Medan (Bappeda)
Buku Medan Selayang Pandang
The History of Medan
1. Tanah Deli, Medan
Long time ago, Medan was known with name Tanah Deli and its soil with marshy about as large as 4000 Ha. Some rivers crossing Medan and all they flow toward Malaka Strait. Those rivers are Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan and Sei Sulang Saling/Sei Kera. (*sei is river). For the first time, Guru Patimpus opened Medan Village which located in Tanah deli, therefore since colonialism era; people always connected Medan with Deli (Medan – Deli). After freedom, from time to time the term Medan-Deli disappeared gradually then at last became unknown.
At past time people called Tanah Deli began from Sungai Ular (Deli Serdang) until Sungai Wampu in Langkat whereas Sultanate of Deli who powered at the time, his powered region did not involve region among the two rivers. Wholly the kinds of soil in Deli Region consisted of clay, sand soil, mixture soil, black soil, brown soil and red soil. This case was observation by Van Hissink in 1990 which continued by observation by Vriens in 1910 found that besides kinds of soil above there found two specific clay anymore. This clay was at the time Holland colonials in Bakara Batu (now more known as Southeast Medan or Menteng) people at the time burnt high qualified brick and one of fabric brick at the time was Deli Klei.
Talking about downpour in Tanah Deli categorized two kinds they are Maksima Utama and Maksima Tambahan. Maksima Utama occurred on October-December whereas sedang Maksima Tambahan between Januari-September. In detail the downpour in Medan averages 2000/year with average intensity 4.4 mm/hour. According to Volker in 1860 Medan was still wilderness and everywhere especially in mouths of river varied by society settlements coming from Karo and Malaya Peninsula. In 1863 Holland began opening tobacco plantation in Deli which ever became pride of Tanah Deli. Since the time economy kept progressing that Medan became center city of government and economy in North Sumatera.
2. Kampung Medan and Deli Tobacco
At the beginning of its development, Kampung Medan was a small village called "Medan Putri". The development of "Medan Putri" could not separated from its strategic position as it locates in the joint of Deli and Babura rivers, not far from Putri Hijau street now. The two rivers at the last time were transportation lane of crowded enough trade, that’s why "Medan Putri"which was the background of Medan quickly developed becoming transit harbor considered very important. The longer time passed the more people came to this village and Guru Patimpus wife who pioneered Kampung Medan gave birth her first son and called Kolok. The source of economy in Medan which people called Sepuluh Dua Kuta at the time was plant pepper.
It was not long then Guru Patimpus’ wife gave birth the second son and called Kecik. At the time, Guru Patimpus was categorized as progress minded. This case could be proved by asking his son studied reading Alqur’an to Datuk Kota Bangun and then deepened studying about Islam to Aceh. The strengthened information that Kampung Medan according to H. Muhammad Said who quoted from Deli In Woord en Beeld book written by N.Ten Cate. The information said that long time ago Kampung Medan was a bull and others consisting of two layer-wall formed round which were in joint of Deli and Babura rivers.
Administration house located in front of the rivers in Kampung Medan. If we see the location of this Kampung Medan is Benteng Hall (Wisma Benteng) and the administration house which now known as PTP IX Tembakau Deli. It was about 1612 after twenty years Kampung Medan opened, Sultan Iskandar Muda who powered in Aceh sent his commander whose title was Laksamana Kuda Bintan became leader who presented Aceh Kingdom in Deli region. Gocah Pahlawan opened new state in Lalang River (Sungai Lalang) Percut. As higher civil servant and representative of Sultan Iskandar and also make use of Aceh Imperial power, Goyah Pahlawan succeeded enlarging his region, therefore involved which now known as Percut Sei Tuan District and Medan Deli Serdang District. He also opened Gunung Klarus villages, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut and Sigara-gara.
By the leadership of Gocah Pahlawan became the beginning of development of Deli Kingdom and in 1632 Gocah Pahlawan got married with Datuk Sunggal. After the marriage of Gocah Pahlawan made the kings in Kampung Medan gave up to Gocah Pahlawan. Gocah Pahlawan passed away in 1653 and his leadership continued by his son Tuangku Panglima Perunggit, who next proclaimed Kesultanan Deli freedom from Aceh Sultanate in 1669, with its capital was about 20 km from Medan. Jhon Anderson, a British did visiting to Kampung Medan in 1823 and wrote down in his book Mission to the East Coast of Sumatera that Kampung Medan society at the time were still 200 people but he only saw the society who living near the joint of the two rivers. Anderson said in his book that “Mission to the East Coast of Sumatera“ (published in Edinburg 1826) along Deli river to the wall of Kampung Medan Mosque built with granite stones formed rectangular. These stones taken from an ancient temple in Java.
The fast development of Kampung "Medan Putri", could not separated from the very well-known tobacco plantation with its Deli tobacco, which was known as the best tobacco cigar wrapper. In 1863, Sultan Deli gave Nienhuys Van der Falk and Elliot from Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, terrain as large as 2.960 hectare in Sepassi Peninsula, near Labuhan. March in 1864, the product of tobacco from tobacco plantation sent to Rotterdam in Holland in order to be tested its quality. As a matter of fact the tobacco leaves has high quality as the cigar wrapper. Then in 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer and Nienhuys opened De Deli Maatscapij in Labuhan. Next, they did the new plantation expansion in Martubung region, Sunggal (1869), Sungai and Klumpang rivers (1875), so its total reaches 22 plantation companies in 1874. Remembering the trade activity of tobacco which was selling well and developed fast, Nienhuys moved his company office from Labuhan to Kampung "Medan Putri". Thus, "Kampung Medan Putri" became more crowded and then developed with the more known name as "Kota Medan”.
3. Legend of Medan
According to legend long time ago, living a very beautiful lady in Old Deli Sultanate about 10 kilometers from Kampung Medan which now known as Deli Tua and because of her beauty, she was called Putri Hijau. The beauty of this lady was known everywhere began from Aceh to end of North Java Island. Sultan Aceh fell in love with her and proposed her as his wife. His propose then refused by her second brother. Sultan Aceh was so angry because of his proposing refusal, he thought that the refusal was humiliation for him. So the Great War occurred between Aceh and Deli Sultanates.
According to legend above, by using mystic power one of Putri Hijau’ brother incarnated becoming a dragon and other became a cannon which shot Aceh Armies aggressively until died with unstoppable shoot. Deli Sultanate defeated in war and because disappointed to prince royal who incarnated becoming cannon exploded a part, its back thrown to Labuhan Deli and its front thrown to Karo highland about 5 kilometers from Kabanjahe. Putri Hijau was kidnapped and put into a glass coffin kept in ship which next would be brought to Aceh. When the ship arrived in Ujung Jambo Aye, Putri Hijau requested in order to hold one ceremony for her before the coffin taken out from the ship. In order her request made real, the great number of rice, thousands eggs should be given.
However, not long when the ceremony began, great typhoon blown suddenly which then followed by high waves. From sea bottom Putri Hijau’ brother who had incarnated becoming a dragon came out and by using his big jaw the coffin taken by him in which Putri Hijau caged then he brought into the sea. This legend is still well-known until now in Deli society conversation and even in Malay in Malaysia. In Deli Tua there was still the bull’ collapse pieces and castle at the time Putri Hijau era, whereas the pieces of incarnation cannon of Putri Hijau’ brother can be seen in front of Maimun Palace Medan.
4. Holland Colonia in Tanah Deli
Holland colonized Indonesia more than a half century however to dominate Tanah Deli they faced so many challenges. They face war in Java with Diponegoro prince about 1825-1830. Holland got so much loss whereas in order to dominate Sumatera, Holland also got war to fight Aceh, Minangkabau, and Sisingamangaraja in Tapanuli region.Holland colonized Indonesia about 78 years since 1864 to 1942. After Java war ended then General Governor of Holland J.Van den Bosch sent his armies to Sumatera and he dan intended to power the whole Sumatera needed 25 tahun years. Subjection of Holland to Sumatera occurred on the plan only because colonized Minister of Holland J.C.Baud asked Holland armies went down in Sumatera although they had defeated Minangkabau which more known perang Paderi (1821-1837).
Sultan Ismail who powered in Riau suddenly attacked by British troop with its leader Adam Wilson. Due to his strength at the time was limited so Sultan Ismail asked help from Holland. This became the beginning of the chance for Holland to dominate Siak Sri Indrapura Kingdom which leaded by Sultan Ismail. On February, 1st 1858 Holland obliged Sultan Ismail in order to sign letter of agreement in order that subjected regions of Siak Sri Indrapura Kingdom including Deli, Langkat, and Serdang in East Sumatera belong to Holland. Because of Deli region had belonged to Holland, Kampung Medan automatically became Holland domination.
In 1858 Elisa Netscher was also appointed as Riau Region Resident and since the time he appointed himself becoming defender of Sultan Ismail who dominated in Siak Kingdom. Netscher intended that he became defender of Sultan Ismail eased him politically dominate the dominated regions of Siak Kingdom namely Deli in which Kampung Medan Putri was included within it. The development of Medan Putri became trade center had supported Medan Putri became governmental center. In 1879, the capital of Deli Residence Assistant moved from Labuhan to Medan, on March 1st1887, the capital of East Sumatera Residence was also moved from Bengkalis to Medan, the palace of Deli sultanate which was the first in Kampung Bahari (Labuhan) also move by the time the completing of Maimoon building on May 18th 1891, thus the capital of Deli had been officially moved to Medan.
In 1915 the position of East Sumatera Residence was heighten became Gubernemen. In 1918 Medan officially became Gemeente (Praja city) with Mayor Baron Daniel Mac Kay. Based on "Acte van Schenking" (Hibah diploma) Number 97 Notarist J.M. de-Hondt Junior, November, 30th 1918, Sultan Deli gave Medan terrain to Gemeente Medan, so officially became domination of Hindi Holland. At the time Kotapraja, Medan still consisted of 4 villages, namely Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
In 1918 the society of Medan considered as many as 43.826 persons which consisting of Eropa 409 person, Indonesia 35.009 persons, Cina 8.269 persons and other Foreign 139 orang. Since then Medan developed faster. Various facilities built. Some of them were Try Station Office AVROS in Kampung Baru (1919), now RISPA, route of Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), America Consulate (1919), Teacher school Indonesia H.M. Yamin Street which now recognized (1923), Mingguan Soematra (1924), Swimming Association Medan (1924), Market center, Elizabeth Hospital, Eye Clinic and Sport Field of Kebun Bunga (1929). Historically, since early the development of Medan had made itself became trade center (export-import) since long time ago. By the time Medan became the capital Deli also made Medan as governmental center. So far besides Medan as one of big city, it is also as the capital of North Sumatera Province.
5. Medan in Japan Colonialism Era
In 1942 Holland colonialism ended in Sumatera at the time Japan landed in some regions of Indonesia such as Java, Kalimantan, Sulawesi and especially in Sumatera Japan landed in East Sumatera. Japan armies landing in Sumatera was XXV Armies which anchoraged in Shonanto which more known Singapore, exactly they landed at 11 night, March, 12th 1942. This troop consisting of The Second Empire Division Guard with The Eighteen Division leaded by General Lieutenant, Nishimura. There were four landings namely Sabang, Ulele, Kuala Bugak (near Peurlak, now East Aceh Timur) and Tanjung Tiram (now Batubara Region). This troop of Japan landing in Tanjung Tiram Region entered to Medan, they cycled their bicycles which bought from society by barter. They had motto that they helped Asian because they were elder brothers and sisters of Asians so they were applauded for welcoming their attendance.
At the time the transfer of governance from Holland to Japan, Medan was confused, native Indonesian made use of this situation to revenge at Holland. This situation immediately controlled by Japan troops which known as “Kempetai “ (Japan Military Police). By the attendance of Japan In Medan, the conditions immediately changed especially civil government at Holland era called “Gemeente Bestuur “ changed by Japan became “Medan Sico“ (Urban Municipality Government). Hoyasaki occupied as Civil Government in Medan Urban Municipality until the end of Japan Colonialism. For residence level in East